TAHAPAN PENGANGKATAN HAKAMAIN DALAM PROSES PENYELESAIAN

PERKARA PERCERAIAN DENGAN ALASAN SYIQOQ DI PENGADILAN AGAMA

Oleh: Delbi Ari Putra Ar-Riyawi, S.H.

 

  1. PENDAHULUAN

Hakamain adalah salah satu istilah yang terdapat dalam hukum Islam sebagai alternative penyelesaian sengketa perdata temasuk didalamnya kasus syiqaq. Secara umum diketahui bahwa hakamain (juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri. Sayyid Qutb menyatakan dalam tafsirnya bahwa Dia (Allah swt) hendak mempertemukan kedua belahan jiwa itu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, supaya pertemuan ini menenteramkan jiwa tersebut, menenangkan sarafnya, menenteramkan ruhnya, melegakan jasadnya. Kemudian menutup, melindungi, dan menjaganya sebagai ladang untuk menyemaikan keturunan dan mengembangkan kehidupan, dengan terus meningkatkan segala sesuatunya dan senantiasa memelihara suasana yang menenangkan, menenteramkan, tertutup dan terlindung. Namun, dalam perjalanan kehidupan berumah tangga tidak selamanya suami istri dapat mempertahankan kelangsungan kehidupan rumah tangganya berjalan mulus, tidak sedikit rumah tangga suami istri putus karena perceraian. Apabila hal ini terjadi, hak yang ada pada suami dan istri sama di dalam cara memutuskan perkawinannya. Mereka mempunyai hak yang sama yakni mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, di antara alasan perceraian yang diajukan oleh istri adalah “syiqaq”. Menurut Rasyid Ridha, syiqaq adalah perselisihan antara suami dan istri, perselisihan ini mungkin disebabkan karena istri nusyus atau mungkin jugakarena suami berbuat kejam dan aniaya kepada  istrinya. Sayyid Sabiq mengategorikan perceraian karena syiqaq ini sebagai perceraian karena dharar atau membahayakan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad berpendapat sekiranya istri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian ke hadapan hakim agar perkawinannya diputus karena perceraian Adapun bentuk dharar menurut Imam Malik dan Ahmad adalah suami suka memukul, suka mencaci, suka menyakiti badan jasmani istrinya, dan memaksa istrinya itu untuk berbuat mungkar. Di kalangan madzhab Syafi'iyah seperti yang dikemukakan oleh  Zakariya Al-Anshari, Asy Syarbaini, bahwa syiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara  suami istri, dan perselisihan ini sangat memuncak serta dikhawatirkan terjadi kemudharatan  apabila perkawinan itu diteruskan (isytidaadusy syiqaq). 

 

Menurut M. Yahya Harahap, apa yang dikatakan syiqaq telah dirumuskan dalam  (penjelasan) pasal 76 ayat ( 1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dimana dikemukakan  bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami dan istri.  Sumber hukum syiqaq adalah al-Qur'an surah an-Nisa' ayat (35) yang merupakan langkah  sistematis dari ayat sebelumnya yang mengatur tentang kedudukan suami dalam keluarga dan  masalah nusyusnya istri.

Dalam praktik Peradilan Agama, alasan perceraian sebagaimana tersebut dalam Pasal  19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu tidak selalu disebut syiqaq.  Dikatakan syiqaq kalau gugatan perceraian itu dengan alasan telah terjadi pertengkaran yang  mengandung unsur-unsur yang membahayakan kehidupan suami istri dan sudah terjadi  pecahnya perkawinan (broken marriage) berakhirnya perkawinan mereka dengan putusan  pengadilan. Sedangkan alasan perceraian yang didasarkan kepada perselisihan dan  pertengkaran yang tidak mengandung unsur-unsur membahayakan dan belum sampai kepada  tingkat darurat, maka hal tersebut belum bisa dikatakan syiqaq. Hal yang terakhir ini gugatan  diajukan oleh salah satu pihak dengan alasan perselisihan dan Pertengkaran itu dengan alasan  perceraian yang lain, seperti salah satu pihak melakukan zina, mabuk, dan main judi.  Terhadap hal ini putusnya Perkawinan bisa berupa perceraian dan bisa dengan putusan  pengadilan.  

Sebenarnya konsep “broken mariege” atau “broken home” yang berkembang di negara negara Barat adalah konsep Islam, yaitu “syiqoq” yakni perselisihan yang terus-menerus yang  sulit untuk dirukunkan lagi, dan dikhawatirkan akan mendapat bahaya dan kemudharatan  apabila diteruskan. Memang sangat ironis, Islam yang punya konsep tapi orang lain yang  mempergunakannya. Kiranya sudah saatnya umat Islam di Indonesia menggunakan konsep  sendiri dalam rangka pembaruan hukum perkawinan di Indonesia. Konsep syiqaq dalam  menyelesaikan persoalan rumah tangga merupakan konsep yang terbaik untuk dikembangkan  dalam hukum perkawinan di Indonesia.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memantapkan  bahwa syiqaq merupakan alasan cerai yang diajukan kepada Pengadilan Agama sebagai perkara tersendiri. Mengajukan Perkaranya ke Pengadilan Agama sejak awal sudah  merupakan perkara syiqaq, jadi bukan perkara lain yang kemudian disyiqaqkan setelah  berlangsungnya pemeriksaan perkara dalam persidangan sebagaimana lazimnya yang  dilaksanakan oleh para hakim sebelum berlaku Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989  tersebut. Substansial dari syiqaq ini adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sepanjang mengandung unsur-unsur yang  membahayakan dan pecahnya perkawinan.  

Munurut M. Yahya Harahap, alasan syiqaq yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang undang Nomor 7 Tahun 1989 beserta penjelasannya sudah memenuhi pengertian yang  terkandung dalam surat an-Nisa' ayat 35, juga sama makna dan hakikatnya dengan apa yang  dirumuskan pada penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf (f) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974  jo. Pasal 19 ayat (2) huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Oleh karena itu,  tata cara pemeriksaannya di samping tunduk kepada ketentuan umum hukum acara perdata,  sekaligus harus menurut tata cara mengadili yang digariskan oleh Pasal 76 Undang-undang  Nomor 7 Tahun 1989 itu sendiri. Kelalaian mempergunakan tata cara yang telah ditentukan  itu mengakibatkan putusan yang dijatuhkan oleh hakim batal demi hukum atau sekurang 

kurangnya dalam tingkat banding harus diadakan pemeriksaan tambahan untuk  menyempurnakan pemeriksaan tersebut. Penyelesaian perkara syiqaq merupakan pemeriksaan  secara khusus (lex spesialis) dan agak menyimpang dari asas- asas umum hukum acara  perdata. Oleh karena perceraian karena syiqaq ini merupakan perceraian karena adanya  mudharat yang menimpa pihak istri dan pecahnya tali pernikahan, maka hakim wajib  mengonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang beperkara itu,  kemudian mengkualifisir peristiwa tersebut, dan akhirnya memberikan hukumnya  (mengkonstitusinya) terhadap peristiwa yang diajukan oleh pihak itu.

  1. PERMASALAHAN 

Dalam proses di Pengadilan, siapa yang menjadi hakam dan kapankah tahapan  pengangkatan hakamain tersebut? Karena pentingnya Hakamain dalam menyelesaikan  perkara perceraian dengan alasan syiqoq, maka ada beberapa rumusan masalah yang dibatasi  dan hendak dijawab dalam tulisan ini yaitu: 

  1. Siapa yang berhak menjadi Hakamain? 
  2. Kapan Tahapan Pengangkatan Hakamain dalam Proses Penyelesaian Perceraian di  Pengadilan Agama? 
  3. PEMBAHASAN 
  4. Pengertian dan Dasar Hukum Hakamain 

Istilah Hakamaian secara etimologi adalah isim mutsanna dari kata hakam yang berarti  dua orang hakam (utusan/wakil). Seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari  pihak isteri untuk menyelesaikan kasus syiqaq. Dalam surat An-Nisa’ ayat 35 disebutkan: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang  hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua  orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada  suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” 

Secara terminologi, Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga  suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian  perselisihan terhadap syiqaq.7 Hakam juga diartikan sebagai juru damai, yakni seseorang  yang dikirim oleh kedua belah pihak suami isteri apabila terjadi perselisihan antara  keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah diantara kedua  suami isteri tersebut.

  1. Peran Hakamain 

Peranan hakam sebagai juru damai dalam menyelesaian sengketa perceraian atas dasar  syiqaq, sangat bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada hakim untuk ikut  menyelesaiakan perselisihan yang terjadi. Seorang hakam akan lebih baik yang mengetahui  sengketa rumah tangga yang sedang dihadapi kedua pihak suami istri.9 Kewenangan  hakam hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah  dilakukan kepada hakim. Karena undang-undang tidak memberikan kewenangan  kepadanya untuk menjatuhkan putusan sebagai hasil dari pada proses penyelesaian  sengketa perdata tersebut. 

Peran hakam menurut Pasal 76 ayat (2) UUPA, adalah sebagai penengah antara suami dan isteri yang sedang berselisih, yang diangkat oleh hakim jika perkara perceraian  tersebut dengan alasan syiqaq. Walaupun dari segi undang-undang tidak terdapat kalimat yang tegas tentang pengangkatan hakam, akan tetapi kedudukannya tidak boleh dianggap  remeh karena terkait dengan keberadaan hukum syara’ dan kedudukan hakam menjadi  wajib jika perkara perceraian tersebut disebabkan oleh alasan syiqaq.

Hikmah adanya hakamian di antaranya untuk menghilangkan adanya tindakan-tindakan  yang merugikan pihak-pihak lain, untuk menyelesaikan perselisihan, mencegah  permusuhan, menyelesaikan pertengkaran. Hakam baru boleh di utus bila cara-cara seperti  nasihat, pengacuhan, pemukulan sudah tidak bias memberikan efek jera kepada pasangan  suami-istri tersebut. 

  1. Yang berhak menjadi Hakamain 

Para pakar hukum Islam sepakat tentang Perlunya pengangkatan hakamain dalam  perkara syiqaq, tetapi mereka berselisih pendapat tentang hukum mengangkat hakam itu.  Dalam kitab Syarqawi alat-Thahrir dikemukakan bahwa jika perselisihan antara suami istri  dapat memuncak yakni terjadi permusuhan yang membahayakan maka perlu diangkat  hakamain dan hukumnya wajib. Sedangkan Ibnu Rusyd berpendapat bahwa pengangkatan  hakamain ini tidak wajib tetapi jawaz (boleh). Pendapat yang terakhir inilah yang diikuti  oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sayid Sabiq tidak  mensyaratkan hakamain itu dari keluarga istri. Adapun perintah mengangkat hakamain dari  pihak keluarga suami istri sebagaimana disebutkan dalam ayat 35 surat an-Nisa' itu adalah  bersifat anjuran saja, karena keluarga dipandang lebih mengetahui situasi rumah tangga  pihak yang berselisih itu. Tetapi pengarang Syarwani alat Tuhfah mensunahkan  pengangkatan hakam itu dari pihak keluarga dari suami dan istri, dan yang mengangkat itu  hakim. Pengangkatan itu dilaksanakan apabila perselisihan dan pertengkaran suami istri  sudah sangat memuncak dan membahayakan kelangsungan kehidupan rumah tangganya.  

Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat (2) hakam tersebut tidak  harus dari keluarga suami istri, diperbolehkan mengangkat hakam dari pihak lain. Apa  yang tersebut dalam penjelasan Pasal 76 ayat (2) itu tidaklah menjadi persoalan asalkan  dalam batas-batas pengertian bahwa rumusannya sengaja diperluas oleh pembuat Undang 

undang dengan tujuan agar rumusan dalam ayat 35 surat an-Nisa' dapat dikembangkan  untuk menampung berbagai problem dalam kehidupan masyarakat sepanjang dalam batas batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung dalam ayat tersebut.

Kedua hakam tersebut adalah dua orang laki-laki yang merdeka, adil, dewasa, memiliki  pemahaman dan ilmu untuk menyatukan dan memisahkan; karena keputusan hukum  membutuhkan pendapat dan penilaian. Kedua hakam ini bisa jika bukan berasal dari  keluarga pasangan suami-istri. Yang paling utama adalah jika keduanya berasal dari  keluarga suami dan istri karena kekerabatan bukan menjadi syarat dalam hukum dan  

perwakilan. Keduanya harus memiliki niat untuk memperbaiki. Keduanya juga harus  memiliki ucapan yang lembut, bersikap fair, dan memiliki rasa keinginan serta rasa  khawatir. Kedua rasa ini jangan sampai hanya dimiliki oleh salah satu pihak tanpa  dirasakan oleh pihak yang lain, agar keduanya dapat lebih mudah disatukan.

Mazhab Hanafi berpendapat, kedua hakim mengajukan keputusan yang mereka  inginkan kepada qadhi. Dan yang meniatuhkan perceraian dengan talak ba'in adalah qadhi,  berdasarkan laporan keduanya. Kedua hakam tidak memiliki hak untuk memisahkan  kecuali jika kedua suami istri menyerahkan hal ini kepada keduanya.12 Sehingga untuk  menjadi hakam memiliki syarat sebagai berikut: 1. Berlaku adil antara pihak yang  berperkara 2. Mengadakan perdamaian antara kedua suami isteri dengan ikhlas 3. Disegani  oleh kedua pihak suami atau istri 4. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya, apabila  pihak yang lain tidak mau berdamai.

Insyafli mengutip pendapat dari Syeikh Jalaluddin Al-Mahally yang mengatakan bahwa  disyaratkan kedua Hakam itu merdeka, ‘adalah (jujur) serta punya pengetahuan tentang  tugas-tugas yang dibebankan kepadanya”.Insyafli menambahkan bahwa syarat yang  perlu mendapat perhatian kita adalah syarat terakhir yakni punya pengetahuan tentang  tugas-tugas hakam. Dari sini dapat kita fahami bahwa para Mediator di Pengadilan, lebih  memenuhi syarat, dari segi punya pengetahuan dan kemampuan sebagai hakam.

Tentang berapa jumlah hakam yang ideal, pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 7  Tahun 1989 tidak menentukan secara rinci, hanya menyebut seorang atau lebih dari  keluarga masing-masing suami istri atau boleh juga orang lain ditunjuk untuk menjadi  hakam. Ketentuan ini adalah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh ayat 35 surat an 

Nisa' yakni sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang. Meskipun sebaliknya ditunjuk  beberapa hakam, tetapi secara kasuistik tidak menutup kemungkinan menunjuk seorang  hakam saja. Hal ini dengan pertimbangan semakin banyak orang yang ikut campur,  semakin kacau permasalahannya dan dalam hal yang demikian lebih efektif apabila hakam  hanya mencari upaya penyelesaian perselisihan saja, bukan untuk mengambil keputusan  dalam perkara yang sedang diadili oleh Majelis Hakim itu.

  1. Tahapan Hakamain dalam Proses Penyelesian Perkara 

Berdasarkan Ketentuan Pasal 76 ayat (2) UUPA yang berwenang mengangkat hakam  adalah Pengadilan, pengangkatan hakam dilakukan oleh ketua majelis yang memeriksa  perkara. Mengenai tata cara pengangkatan hakam yang dianggap sesuai dengan ketentuan  hukum acara perdata adalah melalui putusan sela. Perlu diketahui bahwa antara proses  hakam (dalam istilah lain tahkim) dan mediasi berbeda bila ditinjau dari sudut pandang  hukum acara peradilan agama. Mediasi dilakukan sebelum pemeriksaan perkara sedangkan  hakam dalam proses perkara.  

Perkara syiqaq diajukan sejak awal sudah merupakan perkara syiqaq sebagaimana telah  tersebut dalam Pasal 76 ayat (l) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan  Agama. Oleh karena itu, petugas di meja satu meneliti dengan saksama surat gugat yang  diajukan oleh Penggugat apakah perselisihan dan pertengkaran antara kedua belah pihak  sudah mengandung unsur dharar yang membahayakan dan pecahnya perkawinan.

Kalau sudah jelas ada dharar dalam perselisihan itu, maka perkara tersebut secara  langsung didaftarkan sebagai perkara syiqaq. Gambaran kejadian materiil tentang adanya  alasan syiqaq sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun  1989 yang berbunyi:  

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan  putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga  atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.  

Kemudian Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 berbunyi:  “Gugatan tersebut dalam ayat ( 1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi  pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah  mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu”.  

Apa yang telah dikemukakan oleh kedua pasal tersebut di atas, mengharuskan kepada  hakim yang memeriksa perkara syiqaq tersebut untuk mendengar dan memeriksa keluarga  dekat dengan suami istri yang sedang diperiksa itu. Jika ternyata keluarga yang dekat tidak  ada atau jauh dan sulit untuk dihadirkan ke dalam persidangan, maka hakim dapat  memerintahkan kepada para pihak yang beperkara untuk menghadirkan Siapa-siapa orang  yang dekat dengan mereka. Pemeriksaan keluarga atau orang-orang yang dekat dengan  suami istri dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq adalah imperatif, oleh karena itu  pemeriksaan kepada rnereka wajib dilaksanakan oleh hakim sebelum menjatuhkan  putusan. Kelalaian atas pemeriksaan keluarga itu merupakan pelanggaran terhadap tata  

 cara mengadili yang ditentukan oleh undang-undang, oleh karenanya cacat hukum dalam  pemeriksaannya dan pada tingkat banding harus dibatalkan atau setidak-tidaknya hakim  tingkat banding meminta Pengadilan Tingkat Pertama untuk melaksanakan pemeriksaan  tambahan.

Oleh karena keluarga dan orang-orang dekat adalah saksi dalam kedudukannya sama  dengan saksi-saksi dalam perkara orang-orang dekat dengan suami istri dilaksanakan pada  tahap pembuktian. Pemeriksaan pada mereka lebih diarahkan kepada kebenaran formal  tentang dalil gugat, tentang perselisihan dan pertengkaran yang sangat memuncak di antara  mereka, serta telah terjadi pecahnya perkawinan dan membahayakan kalau rumah tangga  mereka diteruskan. Kalau sudah terbukti dalil gugat tersebut, barulah hakim memberikan  hukumnya. Tetapi sebelum perkara diputus, apabila dianggap perlu dapat menunjuk hakam  sebagai usaha terakhir dalam upaya perdamaian di antara mereka supaya rukun kembali. 

Tentang kapan sebaiknya para hakam itu diperiksa, hal ini kembali pada Pasal 76 ayat  (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 di mana dikemukakan bahwa para hakam itu  harus diperiksa setelah tahap pembuktian itu diperiksa oleh hakim. Dengan demikian  hasil pemeriksaan pembuktian dapat diinformasikan secara lengkap kepada hakam yang  ditunjuk, terutama tentang sifat dari perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara  suami istri tersebut. Informasi tersebut dapat dipergunakan oleh hakam dalam usaha  mendamaikan para pihak dan mengakhiri sengketa. Oleh karena hakim Peradilan Agama  yang menangani perkara perselisihan itu haruslah memberikan pengarahan seperlunya  kepada hakam yang ditunjuk tentang cara-cara yang harus ditempuh dalam melaksanakan  tugasnya, juga ditetapkan kapan para hakam itu harus melaporkan upaya yang  dilaksanakan itu kepada hakim dan batas waktu tugas yang diberikan oleh hakim kepada  para hakam untuk melaksanakan tugasnya. Sehubungan dengan hal ini hakam yang  diangkat itu haruslah orang yang arif, disegani oleh kedua belah pihak yang bersengketa,  dan dapat dipercaya.  

Menurut M. Yahya Harahap ketentuan yang mengharuskan pengangkatan hakam  setelah pemeriksaan terhadap pembuktian tidak bersifat imperatif.18 Sekiranya dalam tahap  replik dan duplik hakim sudah mendapat gambaran yang jelas tentang sifat perselisihan  dan pertengkaran suami istri tersebut, dan hakim sudah mempunyai keyakinan bahwa  mereka bisa didamaikan dengan cara mengangkat hakam, maka hakim dapat menyimpang dari ketentuan tersebut asalkan kemaslahatan para pihak untuk rukun kembali dapat  terwujud.  

Lebih lanjut Yahya Harahap mengemukakan bahwa oleh karena pengangkatan hakam  itu bersifat insidental sebelum putusan akhir dijatuhkan, maka tata cara yang tepat untuk  itu adalah dengan putusan sela, bukan dengan cara mengeluarkan penetapan. Bentuk  putusan akhir adalah putusan (vonis). Putusan dijatuhkan oleh hakim setelah mendengar  laporan oleh hakam tentang upaya maksimal yang mereka laksanakan dalam upaya mereka  mengakhiri sengketa. Apabila menurut para hakam perselisihan dan pertengkaran mereka  sudah sangat memuncak dan tidak mungkin didamaikan lagi, dan jalan satu-satunya bagi  mereka adalah cerai, maka hakim wajib menceraikan suami istri tersebut sesuai dengan  usul para hakam, usulan mereka itu haruslah menjadi pertimbangan hakim dalam  memutuskan perkara. Hakimlah yang menceraikan suami istri tersebut, bukan para hakam  yang menceraikannya.  

Dalam yurisprudensi Peradilan Agama yang lama, hampir pada semua putusannya  dijumpai di mana yang mengikrarkan talak dalam perkara syiqaq adalah hakam, sedangkan  dalam yurisprudensi yang baru dijumpai bahwa putusan cerai syiqaq adalah putusan  hakim, hakimlah yang menceraikan para pihak yang bersengketa untuk mengakhiri  perkaranya, bukan hakam.

Nirmala Hasan dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa proses pengangkatan  hakamain adalah inisiatif pokok datangnya dari Majelis Hakim, yaitu dalam tahapan  pemeriksaan perkara tersebut (proses jawab menjawab) hakim sudah dapat menilai perkara  tersebut, selajutnya setelah pembuktian kedudukan perkara tersebut semakin jelas dan  disinilah hakim mengangkat hakam, yaitu memerintahkan kedua belah pihak untuk  mendatangkan orang yang dapat dipercaya, kemudian diambil sumpah oleh Majelis Hakim  dalam pelaksanaan tugas tersebut, kemudian dibacakan putusan sela, selanjutnya hakamain  melaksanakan tugasnya, setelah melaksanakan tugasnya hakamain melaporkan hasilnya  kepada Majelis Hakim, apakah hasil dapat didamaikan ataupun tidak harus didengar oleh  Majelis Hakim sebagai bahan pertimbangan, jika berhasil didamaikan, maka perkara  tersebut harus dinyatakan selesai karena damai dan harus dicabut, sebaliknya jika tidak  berhasil, dilanjutka dengan pemeriksaan akhir, yaitu masing-masing mengajukan  kesimpulan.

Merliansyah juga menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa Pengadilan dapat  mengangkat hakam ( juru damai ) setelah pemeriksaan pembuktian selesai. Saksi-saksi  dan alat bukti lain yang diajukan para pihak sudah selesai diperiksa. Dari hasil  pemeriksaan pembuktian Pengadilan telah mendapat gambaran tentang sifat persengketaan  yang terjadi antara suami istri kemudian saatnya menunjuk hakam.  

Pengadilan atau Hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara seksama apa dan  bagaimana perselisihan tersebut dan faktor yang melatar belakangi perselisihan sudah  dapat diketahui kemudian Hakim memberi bekal kepada hakam tentang segala sesuatu  yang ditemukan di persidangan untuk dijadikan sebagai bahan menjajaki usaha  penyelesaian perselisihan agar hakam dapat bekerja sebaik mungkin, segala sesuatu yang  terjadi di persidangan harus disampaikan kepada Hakim. Kemudian disamping penjelasan  mengenai hal-hal yang diketemukan di sidang kepada hakam diberi pengarahan  seperlunya, saat melaporkan hasil usahanya, serta batas jangka waktu penugasan. Itu  sebabnya Hakam yang diangkat orang yang arif, disegani dan mau bekerja serta dapat  dipercaya. Hakam benar-benar dikenal dan sangat dekat dengan suami istri dan diberi batas  waktu agar penyelesaian perkara tidak terkatung-katung.

  1. PENUTUPAN 
  2. Kesimpulan 

Pengajuan perkara syiqaq diajukan sejak awal pendaftaran yang sudah merupakan  perkara syiqaq sebagaimana telah tersebut dalam Pasal 76 ayat (l) Undang-undang Nomor  7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam penyelesaian perkara perceraian dengan  alasan syiqaq tersebut dapat diangkat hakam (juru damai). Fungsi hakam terbatas untuk  mencari upaya penyelesaian perselisihan, fungsi tersebut tidak dibarengi dengan  kewenangan untuk menjatuhkan putusan. Yang berhak menjadi Hakam yaitu dari pihak  keluarga dari suami dan istri, dan yang mengangkat itu hakim. Namun menurut Undang 

undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat (2) hakam tersebut tidak harus dari keluarga  suami istri, diperbolehkan mengangkat hakam dari pihak lain. 

Tahapan pengangkatan para hakam yaitu setelah tahap pembuktian oleh hakim dengan mengeluarkan putusan sela. Hasil pemeriksaan pembuktian dapat diinformasikan  secara lengkap kepada hakam yang ditunjuk, terutama tentang sifat dari perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara suami istri tersebut. Informasi tersebut dapat  dipergunakan oleh hakam dalam usaha mendamaikan para pihak dan mengakhiri sengketa. 

  1. Saran  

Ada beberapa saran yang perlu yaitu hendaknya pelaksanaan pengangkatan hakam  dapat diperjelas di dalam Undang-undang ataupun instrumen peraturan lainnya tentang  syarat-syarat menjadi hakam dan tata cara pengangkatan hakam agar menjadi pedoman  bagi hakim-hakim (khususnya di Pengadilan Agama) dalam menyelesaikan perkara  perceraian dengan alasan syiqaq. 

Hendaknya Majelis Hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan perkara syiqoq  bersungguh-sungguh dalam melakukan upaya damai dan dapat mengangkat hakamain  dalam menyelesaikannya sebagai tindak lanjut dari ketentuan tentang tahkim di dalam  Undang-Undang.